Sunday, March 27, 2005

Memanen Metan Bukit Kembar Haneul-Noeul, Seoul: Mengubah Sampah menjadi Berkah

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/30/ilpeng/1716104.htm

Oleh: Ir Qodarian Pramukanto, Dip.Env.M., MS*

Maraknya perbincangan perihal sampah dan limbah perkotaan di tanah air, mulai dari produksi yang berlimpah, pengelolaan dan pemanfaatan yang (masih) payah, sampai puncak tragedi bukit sampah Leuwigajah yang menuai musibah, pada hakekatnya tidak terlepas dari pemahaman yang keliru tentang sampah.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia dan sampah tidak dapat dipisahkan. Manusialah yang menyebabkan adanya sampah sebagai bagian dari proses pemanfaatan sumberdaya untuk berbagai kepentingan, baik pada skala rumah tangga, kantor, pasar, sampai industri. Namun ironisnya kebanyakan kita tidak mengakui atau peduli terhadap apa yang kita kontribusikan ke lingkungan sekitar. Akibatnya sampah tersebut benar-benar menjadi ‘sampah’, sebagus-bagusnya tempat sampah akhirnya menjadi sampah, bahkan TPA-pun singkatannya memang lebih cocok sebagai Tempat Pembuangan Akhir dari pada diinterpretasikan sebagai Tempat Pengolahan Akhir sampah.

Untuk memahami pentingnya arti sampah ini patut kiranya kita simak pengalaman berharga dalam menyikapi sampah ala dari negeri semenanjung yang dikenal dengan ginsengnya, yaitu Korea Selatan. Setidak ada beberapa pelajaran dalam gerakan memerangi sampah ini, mulai dari membangun kesadaran masyarakat lewat lembaga pendidikan sampai upaya spektakular yang mengangkat martabat bangsa.

Berawal dari dari gerakan “perang”terhadap sampah yang menjadi bagian dari Gerakan Saemaul (Saemaul Undong). Bentuk gerakan ini tidak lagi menganggap sampah sebagai sampah, melainkan menjadikan sampah sebagai sumberdaya yang bermanfaat dan dapat dimanfaatkan. Dimana-mana dapat ditemukan poster dan iklan ajakan yang bertuliskan “Jangan Sia-siakan Sampah”.

Mulai dari sekolah dasar gerakan ini ditanamkan melalui pendidikan pelestarian lingkungan. Dengan semboyan “Let’s clean up our villages”, para siswa tidak saja belajar peduli dan melaksanakan praktek pelestarian lingkungan, tapi juga mengetahui bagaimana memanfaatkan kembali barang bekas dan proses daur ulang. Siswa dididik menjadi voluntir-voluntir cilik yang secara berkala mengumpulkan dan membawa item tertentu dari rumah ke sekolah, seperti wadah minuman plastik atau alumunium, dan kertas koran untuk kemudian ditampung oleh pabrik dan menyaksikan proses daur ulang menjadi barang bermanfaat lainnya. Tidak sampai disitu, para siswa kemudian juga menikmati kembali produk daur ulang tersebut, seperti dari daur ulang kertas para siswa akan mendapatkan buku catatan hasil daur ulang atau dari daur ulang logam, sekolah akan mendapat beberapa buah kursi almunium secara gratis.

Di era demokrasi dan otonomi tahun 90-an, politik kebijakan Korea mencuatkan dukungan transformasi lingkungan melalui berbagai gerakan ’hijau’ dalam peningkatan keragaman bentuk dan kualitas taman dan ruang terbuka hijau. Beragam program ‘hijau’ yang berorientasi keberpihakan pada pentingan masyarakat mendapatkan percepatannya, seperti mengubah berbagai fasilitas militer, bentang plaza aspal dan beton, fasilitas sumber air kota dan ‘lahan tidur’ (wasteland) menjadi taman-taman dan ruang terbuka hijau kota.

Untuk kota Seoul, salah satu topik kebijakan ‘hijau’ yang dikampanye melalui ‘Visi Hijau Abad 21 kota Seoul’ (Seoul Green Vision 21) adalah gerakan dalam ‘memerangi’ sampah dengan segala jurus. Kampanye yang mendengungkan perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan perkotaan ini mencapai salah satu puncak pendakiannya pada event perhelatan akbar FIFA World Cup 2002.

Dengan katalisator keberhasilan Korea menyelenggarakan Olimpiade Seoul 1988, pemerintah kota metropolitan Seoul melakukan transformasi rekayasa lingkungan yang spektakuler lewat rancangan Kompleks Seoul World Cup Park. Taman monumental ini lahir melalui metamorfosis lingkungan yang panjang di kawasan Nanjido, hilir sungai Han di sebelah Barat dari pusat kota Seoul.

Sesuai dengan namannya, Nanjido (nanj= anggrek dan jamur, do=pulau), sebelum tahun 1978 kawasan ini merupakan pulau yang dikenal dengan aroma semerbak bunga anggrek dan budidaya jamur serta kaya akan sajian aneka tumbuhan bunga lainnya. Disamping itu kawasan perairan disekitarnya dikenal sebagai persinggahan aneka unggas migrasi, angsa, bebek dan kerabat burung air lainnya.

Kemudian, selama 15 tahun status tapak berubah sebagai areal landfill sampah kota Seoul yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Akumulasi lebih dari 92 juta meter kubik tumpukan berbagai macam sampah kota, mulai dari sampah rumah tangga, material bangunan sampai sampah industri ini dengan teknik penimbunan non-sanitary ini menghasilkan rembesan leachate (‘air sampah’) dan gas beracun. Peningkatan leachate yang dapat menimbulkan longsor dan subsidence, disamping polusi udara dan air yang merusak ekosistem sekitarnya disadari oleh pemerintah kota metropolitas Seoul. Sehingga aktivitas yang telah menimbun areal seluas 272 ha ini dihentikan tahun 1993.

Pemulihan kawasan Nanjido yang rusak ini akhirnya dicanangkan oleh pemerintah metropolitan melalui “Landfill Recovery Project” dan menjadikan kawasan tersebut sebagai taman kota yang ramah lingkungan. Sejak tahun 1991 sampai 1996 dilaksanakan program reklamasi timbunan sampah tersebut melalui pengendalian aliran air leachate dengan membangun barrier pelindung vertikal dan pengolahan limbah yang terkontaminasi, penutupan permukaan dengan lapisan tanah, ekstraksi dan pengelolaan gas beracun, serta stabilisasi lereng.

Upaya reklamasi sampah ini pada akhirnya melahirkan dua bukit kembar setinggi lebih dari 90 meter. Bukit kembar dengan puncak yang dibuat berupa dataran mirip ziggurat ini merupakan kelahiran kembali (reborn) kawasan Nanjido dalam wujud kompleks World Cup Park atau yang dikenal juga sebagai Taman Milenium (Millennium Park). Kedua bukit yang menjadi inti dari kompleks taman tersebut merupakan sub taman yang memegang peranan penting diantara tiga sub taman lain dalam kompleks tersebut.

Pada bukit kembar yang bernama Taman Haneul (19.2 ha) dan Taman Noeul (34 ha) ini selain berfungsi sebagai taman dan ruang terbuka hijau juga berperan sebagai ‘tanki raksasa’ bagi penambangan gas metan (CH4). Sejak 2001, dari dua landfill bukit kembar tersebut dipanen gas metan melalui 106 sumur-sumur ekstrasi dengan kedalaman 40 – 60 meter yang tersebar dalam jarak interval 120 meter. Gas dari sumur-sumur ekstrasi ini diangkut melalui instalasi pipa pengumpul yang ditanam didalam landfill menuju fasilitas pusat pengolahan LFG. Gas metan yang dihasilkan selanjutnya dialirkan sebagai pasokan sumber energi pemanas dan pendingin bagi tiga kompleks, yaitu: Seoul World Cup Stadium, 6000 unit rumah di kawasan Permukiman sub-distrik Sangam dan Digital Media City (DMC).

Kesungguhan pemerintah dalam meningkatkan kualitas lingkungan kota yang mendapat dukungan penuh dari masyarakat dalam pembangunan kompleks World Cup Park ini merupakan simbol kemenangan atas gerakan yang berpihak pada masyarakat dan ramah lingkungan. Lebih jauh lagi transformasi yang melahirkan taman ekologi (Eco-Park) dari bukit sampah ini merupakan penghormatan yang sengaja dipersembahkan ke pentas dunia melalui event FIFA World Cup yang bergengsi. Lebih jauh kehadiran di kompleks tersebut semakin meningkatkan keragaman serta luasan areal taman dan ruang terbuka hijau kota Seoul menjadi 25 % dari total kota (62 700 ha) yang hampir seluas ibu kota Jakarta.

Semoga uraian di atas menambah pemahaman bahwa menyertai sampah yang
dihasilkan, tidak lagi dimaknai dengan citra sampah sebagai ‘sampah’. Sehingga pandangan ‘sampah’ yang sesungguhnya tersebut perlu ditinggalkan dan digantikan dengan cara baru dalam memandang sampah sebagai sumberdaya yang (masih) bermanfaat. Banyak segi yang dapat dilakukan, mulai dari disiplin dalam memilih dan memilah sampah dan limbah sampai pemanfaatan sebagai sumberdaya, seperti mengembangkan manfaat ulang barang bekas (reused), daur ulang (recycle) sampai meraih berkah melalui manfaat turunan (regenerate) berupa energi gas metan dan kompos.
_________
* Staf pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, IPB; Kandidat doktor pada Seoul National University, Korea Selatan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home